KAMIS SI KUMIS


Penulis : Galih Pramono 

"Mahasiswa itu harus ideologis, jangan cuma berkumis," bentak Burhan. Bang Kumis cuma diam saja, tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. kumisnya yang lebat itu basah oleh air mineral yang selalu ia bawa bersama tas hitam kesayangan.

Bang Kumis sekali lagi hanya diam saja. tersenyum simpul. "Maaf han, kalau yang dimaksud idelogis macam sampeyan. saya jelas ndak mau,"

"Maksud loe?,"

"Lagi pula ini bukan kumis sembarang kumis,"

"???????"

— <1 bulan kemudian> —

Burhan masih saja gak habis nafsunya untuk mengusik Bang Kumis. Sejak sebulan yang lalu ia tak melihat kumis hitam eksotis yang tumbuh hanya setengah bagian itu. Rasanya memang rindu, Burhan terus saja mencari dikantin tempat biasa Bang Kumis berasa. Namun ndak kunjung ketemu. Berbagai spekulasi muncul dibenak Burhan, mahasiswa yang paling getol mengaklamasikan keideologisan dirinya itu. Tinggi 153 dengam berat 53 (bayangkan aja sendiri).

“Si kumis sengaja menghindar nih, padahal masih ada urusan penting antara diriku dan dirinya,” guman Burhan dalam hati.

Hari itu memang hari kamis. Kurang lebih 1 bulan lebih sehari Burhan melakukan pencarian. Seperti biasa mondar-mandir depan kantin kurang lebih 15 menit, dilanjutkan pesan secangkir teh es manis dan sepotong kue lapis. Namun kamis itu memang sedikit berbeda. Mungkin saja Burhan lagi jadi orang beruntungis.

Tak seperti sebulan lebih sehari yang hampa. Kamis itu tiba-tiba Bang Kumis menampakkan dirinya. Ia duduk membelakangi pintu masuk kantin pada meja nomor wahid . Tasnya yang khas ditemenin sebotol air mineral tergeletak di sampingnya. Burhan tersenyum bahagia. Ya….. memang belum 15 menit, kurang lebih semenit-sedetik saja, bahkan belum sempat pesan secangkir teh es manis dan kue lapis. Tapi kamis itu sudah begitu manis bagi Burhannudin Harahap.

“Mahasiswa itu harus ideologis jangan cuman berkumis,” teriak burhan dengan lantangnya.

Sontak saja semua mata pengunjung kantin tertuju kearah Burhan. Bang Kumis diam, tersenyum simpul sembari menyantap habis makanan siang itu. Masih duduk santai dimeja dengan Burhan yang berdiri mematung dibelakangnya.

“Maaf Han, kalau ideologinya masih kayak sampeyan gini. Sorry aja, aku gak mau!!”

“Terus maumu cuman kumisan aja?”

Bang Kumis menoleh ke arah Burhan. Sontak saja Burhan kaget melihat tak ada kumis yang setengah itu lagi. Senyum bangga ditemani helaian rambut yang tumbuh di dagu Bang Kumis pun menambah keheranan Burhan.

“Tetep gak bisa setuju sama Ideologis mu itu Han, Aku pilih Islam Ideologis aja!!”

Menenteng tas kesayangan, Bang kumis beranjak pergi meninggalkan burhan yang masih keheranan. Gak nyangka bisa berubah dalam sebulan lebih sehari. Ya… kamis memang gak semanis bayangan. Tanpa sadar, Burhan telah menjadi perhatian warga kantin apalagi abang-abang berkumis di pojok kantin yang matanya melotot seperti mau lepas

*ini cerita fiktif bin imajanasi aja, kesamaan tempat dan nama serta ciri-ciri harap dimaklumi saja. 

.1. .2. .3. 

Post a Comment